--> Skip to main content

Al-Anwar - Hikmah, Jangan Mengandalkan Amal Ibadah

Al-Anwar - Hikmah, Jangan Mengandalkan Amal Ibadah. Pondok pesantren al-anwar sarang rembang. Coretan ini hanya sebagai pengingat bagi penulis saja. untuk dapat dibuka kembai untuk generasi kita mendatang. yang mana diambil dari beberapa referensi seperti pengertian hikmah, kisah hikmah islam, arti hikmah, hikmah puasa senin kamis, ilmu hikmah, kata hikmah, hikmah puasa, lagu hikmah dan lainnya.

Baca ini :  Al-Anwar - Hikmah, Jangan Mengandalkan Amal Ibadah




من علامات الإعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزلل

"Termasuk tanda berpegang pada amal adalah kurang mengharapkan ampunan Allah SWT ketika berbuat kesalahan"

1. Penjelasan

Berpegang pada amal (baca: mengandalkan amal) adalah suatu hal yang tercela. Ibnu Atha’illah menasehati kita : “Takutlah kamu berpegang pada amal seperti shalat, puasa, shadaqah, dan lain-lain untuk mencapai ridla Allah SWT dan memperoleh balasan yang Allah SWT janjikan. Tetapi berpeganglah pada pemberian Allah dan anugrah-Nya”.

Al-'Allamah Burhanuddin Ibrahim bin Ibrahim bin Hasan Al-Laqqoni di dalam kitab Jauharotul Al- Tauhid berkata:

وان يعذب فبمحض العدل فإن يثبنا فبمحض الفضل

Artinya : Apabila Allah memberi pahala kepada kita maka itu adalah murni dari anugrah-Nya, dan bila Allah menyiksa kita maka itu adala murni keadilan-Nya.

Ini merupakan satu konsep aqidah yang harus dimiliki oleh setiap muslim sebagaimana aqidah ulama-ulama salaf.

Terkadang ada orang yang berkata, secara lahir pahala yang berhak dimiliki seseorang adalah karena amal shaleh yang dia lakukan. Namun ketika kita mau berfikir dan merenung tentang hubungan antara hamba dan Tuhannya, maka kita akan mengerti bahwa apa yang diucapkan oleh orang tersebut adalah salah.

Kesalahan tersebut muncul ketika dia mengatakan bahwa surga bisa diperoleh dengan amal ibadah. Maka maknanya, Allah telah menentukan harga surga bukan dengan dinar atau dirham, melainkan dengan taat beribadah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dan konsekwensinya ketika dia telah menyerahkan ibadah sebagai harga, maka dia telah memiliki surga dan berhak mengeluarkan penjualnya (Allah) seperti halnya hubungan antara penjual dan pembeli.

Tentunya ini adalah kesalahan yang sangat fatal sekali. Ingatlah ketika Allah SWT memerintah kita untuk beribadah dan melarang dari maksiat serta memberi taufiq dan hidayah kepada kita sehingga kita bisa beribadah. Siapakah Dzat yang telah memberi kita kekuatan untuk shalat dan puasa? Siapakah Dzat yang telah memberikan kelapangan dada untuk beriman?. Jawabannya tidak lain adalah hanya Allah SWT semata.

2.Dalil

a. Firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 17:

يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُلْ لَا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُمْ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ ( الحجرات: 17 )

Artinya: Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukan kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Hujurat: 17)

Jadi sangat tidak pantas sekali ketika seseorang mengatakan bahwa “ibadah kitalah yang membuat kita masuk surga Allah SWT.

Oleh karena itu, jangan sampai terbesit sedikit pun dalam hati kita bahwa kita berhak memperoleh surga dan pahala sebab telah melakukan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah SWT dan telah menjauhi larangan-larangan-Nya, karena bila kita meyakini hal tersebut, maka itu merupakan salah satu bentuk dari kemusyrikan.

Hubungan antara manusia dan Tuhannya tidak bisa disamakan dengan hubungan antar sesama manusia sebab Allah SWT adalah Dzat yang menciptakan manusia dan segala apa yang dia lakukan, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada ummatnya.

لا حولا ولا قوّة إلا بالله

Artinya: Tidak ada daya untuk melakukan ibadah dan tidak ada kekuatan untuk menjauhi maksiat kecuali Allah.

Ketika kita memuji Allah dengan mulut kita, maka kita wajib bersyukur kepada Allah, ketika kita melakukan shalat tahajjud, maka wajib bagi kita untuk bersyukur karena Allah telah memberikan taufiq-Nya, dan seandainya bukan karena rahmat, inayah dan hidayah-Nya, maka kita pasti masih tenggelam dalam lelap tidur.

Dari penjelasan-penjelasan di atas terkadang timbul pertanyaan mengenai makna firman Allah yang terdapat di dalam surat An-Nahl: 32

...ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ ( النحل: 32 )

Artinya: "Masuklah kamu ke dalam surga itu di sebabkan apa yang telah kamu kerjakan". (QS. An-Nahl: 32)

Bila dilihat dari zahirnya, seolah-olah ayat di atas memberi kesan bahwa masuk surga itu disebabkan oleh amal seseorang, apakah memang demikian?, jawabannya adalah tidak, karena kalam tersebut hanya berasal dari satu pihak yaitu Allah SWT, bukan dari dua pihak yang sedang melakukan akad. Pertama kali Allah memberi kita taufiq sehingga kita bisa beramal shalih dan melakukan kebaikan. Setelah itu Allah SWT berfirman:

...ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ ( النحل: 32 )

Maka kesimpulannya, masuk surga bukanlah sebab amal kita tetapi murni dari anugrah dan ihsan Allah SWT. Dan bila perasaan tersebut (masuk surga karena amal sholih) sulit dihilangkan, maka kita harus memahami makna ubudiyyah kepada Allah SWT dan kita juga harus ingat bahwa kita sangat butuh pada pertolongan dan inayah Allah SWT.

b. Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari ra. :

لن يدخل أحدكم الجنة عمله قالوا ولا أنت يا رسول الله قال : " ولا أنا إلا أن يتغمدني الله برحمة

Artinya: Tidak ada salah satu diantara kalian yang amalnya bisa memasukkannya ke surga. Para Shahabat bertanya: Engkau juga tidak ya Rasulullah??. Rasulullah SAW menjawab: “Aku juga tidak, hanya saja Allah meliputi rahmat-Nya kepadaku”.

Jadi amal ibadah bukanlah harta yang bisa untuk membeli surga. Oleh karena itu yang dituntut dari seseorang yang diberi hidayah Allah SWT ketika dia mampu melakukan ibadah adalah merasa bahwa dia bisa mendapatkan ridla Allah SWT karena anugrah dan rahmat-Nya, bukan karena amal ibadah yang dia lakukan.

3.Aplikasi

Kita akan mencoba mengaplikasikan penjelasan diatas pada sebuah perumpamaan sebagai berikut:

Ada seorang ayah yang ingin melatih amal kebaikan kepada anaknya. sang ayah pun berkata kepada anaknya: "Bila kamu bershadaqah kepada orang miskin, maka aku akan memberimu hadiah". Setelah itu sang ayah meletakkan sejumlah uang di dalam saku sang anak tanpa sepengetahuannya, lalu sang anak merenungkan perkataan ayahnya. Kemudian sang anak bershadaqah dengan uang tersebut kepada orang miskin. Sehingga sang ayah gembira melihat hal tersebut karena sang anak bisa melakukan kebaikan. Lalu dia pun memberi hadiah kepada anaknya.

Dari perumpamaan tersebut tidak bisa diragukan lagi bahwa uang yang di gunakan shadaqah adalah milik sang ayah. Sedangkan pemberian hadiah kepada sang anak walaupun secara zahirnya dinamakan imbalan (jaza’), namun pada hakikatnya pemberian hadiah tersebut karena sang ayah sayang dan mendorongnya untuk melakukan amal sosial.

Diceritakan bahwa ada sebagian ulama’ ketika tidur bermimpi bertemu dengan salah satu waliyullah yang sudah wafat. Di dalam mimpinya dia bertanya kepada wali tersebut “Apa yang Allah lakukan kepadamu?”, wali tadi menjawab: ”Aku dihadapkan kepada Allah SWT dan Allah bertanya kepadaku: ”Dengan apa engkau datang kesini?”, lalu aku menjawab: “Ya Rabbi, saya adalah seorang hamba sahaya (budak), sedangkan hamba itu tidak memiliki apa-apa yang bisa diberikan. Aku datang kepada-Mu dengan penuh harapan mendapat ampunan dan rahmat-Mu”.

Jawaban yang disampaikan wali tersebut merupakan salah satu bentuk ubudiyyah yang bisa difaham dari hadist Abi Hurairah ra:

لن يدخل أحدكم الجنة عمله قالوا ولا أنت يا رسول الله قال : "ولا أنا إلا أن يتغمدني الله برحمة

Artinya: Tidak ada salah satu diantara kalian yang amalnya bisa memasukkannya ke surga. Para Shahabat bertanya: Engkau juga tidak ya Rasulullah??. Rasulullah SAW menjawab: “Aku juga tidak, hanya saja Allah meliputi rahmat-Nya kepadaku”.

Ibarat yang digunakan Rasulullah di dalam hadist di atas adalah عمله dan tidak menggunakan kata بعمله , karena seandainya Rasulullah menggunakan kalimat بعمله , maka akan bertentangan dengan ayat :

...ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (النحل: 32)

Hadist tersebut juga mengandung makna bahwa berpegang pada amal tanpa mengharapkan ampunan dan rahmat dari Allah SWT, bisa menyebabkan kerugian dan tidak akan mencapai impian-impian yang dicita-citakan. Hal ini di disebabkan Allah telah menjadikan amal yang sangat rendah dan kurang sebagai jalan untuk memperoleh ampunan dan rahmat-Nya seperti di dalam ayat :

...ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (النحل: 32)

Lihatlah ketika ada orang bershadaqah kepada fakir miskin, maka kamu akan mengetahui betapa berat rahmat Allah kepada hamba-Nya. Karena pada hakikatnya harta yang dia shadaqahkan adalah milik Allah SWT.

Di dalam surat An-Nur: 33 dijelaskan:

...وَآَتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آَتَاكُمْ... (النور :33)

Artinya: "Dia berikan kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu".(QS. An-Nur: 33).

Kemudian Allah mengkhitabi manusia di dalam surat Al-Baqarah: 245,

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ ( البقرة: 245)

Artinya: "Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak". (QS. Al-Baqarah : 245)

Di dalam ayat di atas Allah menempatkan Dzat-Nya seolah-olah sebagai orang yang berhutang kepada manusia yang bershadaqah dan Allah akan memberi balasan yang berlipat atas shadaqahnya.

Bila kita menyangka bahkan yakin bahwa Allah berhutang, sehingga kita bisa menuntut pahala ketika sudah bershadaqah, maka berarti kita telah mabuk dan gila, karena kita lupa bahwa apa yang kita miliki pada hakikatnya adalah milik Allah SWT.

Terkadang timbul pertanyaan apakah ada pertentangan antara Allah memasukkan manusia dengan rahmat-Nya dan Allah memerintah manusia untuk beribadah?

Jawabannya adalah tidak. Ibadah merupakan hak Allah yang wajib dilakukan manusia sebagai pembuktian bahwa dia adalah hamba Allah. Sedangkan surga adalah karunia Allah sebagai bukti sifat-sifat rahmat-Nya dan Allah telah memutuskan bahwa orang yang paling berhak mendapat rahmat adalah yang paling banyak melakukan kewajiban-kewajiban. Di dalam surat Al-A’raf : 156, dijelaskan :

...وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآَيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ (الأعراف: 156)

Artinya : "Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu, maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa". (QS. Al-A’raf : 156)

4. Alamat I'timad Pada Amal- Al-Anwar - Hikmah, Jangan Mengandalkan Amal Ibadah


Kurang percaya terhadap rahmat Allah SWT termasuk mengandalkan amal. Adapun cara menghilangkannya adalah dengan tidak mengandalkan pada suatu amal dan selalu mengharap rahmat dan ampunan Allah SWT serta takut akan siksa dan adzab-Nya ketika melakukan kesalahan. Sehingga ketika seseorang merasa tidak memiliki kekuatan untuk melakukan ibadah dan kewajiban yang sangat banyak maka akan timbul dua perasaan, yaitu perasaan mengharap ampunan dan rahmat Allah SWT dan perasaan malu dan takut di sisi Allah SWT.

Terkadang syetan akan menghasut manusia bahwa ibadah dan takut itu tidak berperan dalam memperoleh rahmat Allah sehingga tidak ada perbedaan antara melakukan ibadah dan meniggalkannya (melakukan maksiat).

Hasutan ini tidak boleh di turuti, karena dalam ayat:

...وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآَيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ (الأعراف: 156)

ternyata Allah menggunakan kalimat لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ (Bagi orang-orang bertaqwa) dan tidak menggunakan kalimat ِللنَّاِس (semua manusia).

Ayat ini juga mengandung dua hal yang saling talazum (bergantung dan mengisi), yaitu:

1) Seseorang harus berjalan di jalan yang benar dengan melakukan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.

2) Seseorang harus mengerti bahwa surga dan pahala itu diperoleh dengan rahmat dan ampunan Allah, bukan dengan amal ibadah.

Dua hal ini juga terkandung di dalam surat Thaha ayat 82 :

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى (طه: 82)

Artinya : "Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar." (QS. Thaha : 82)

Dari ayat di atas bisa difahami bahwa iman dan amal shalih adalah hal yang wajib, sedangkan pahala itu diperoleh dari ampunan dan rahmat Allah SWT.

Mungkin di dalam hati kita timbul sebuah pertanyaan : Allah telah menakut-nakuti orang yang berdosa dan berbuat maksiat dengan siksa-siksa-Nya, lalu bagaimana mungkin orang yang berbuat dosa tidak berkurang harapannya terhadap ampunan dan rahmat Allah? padahal Allah juga mensyaratkan iman dan taqwa untuk memperoleh rahmat-Nya. Seperti pada surat Al-A'raf ayat 156 :

...فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ ... (الأعراف: 156)

Artinya : "Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku bagi orang-orang yang bertaqwa." (QS. Al-A’raf : 156).

Jawabannya adalah orang yang berbuat maksiat harus bertaubat karena dia tidak mungkin bisa menghadap Allah dengan mengharapkan rahmat-Nya kecuali dengan bertaubat dan menyesali dosa-dosanya.

Bila dia mau bertaubat dengan sungguh-sungguh maka harapan terhadap rahmat Allah akan selalu bertambah dan Allah pasti akan menerima taubatnya, Allah SWT berfirman di dalam surat At-Taubah ayat 104 :



أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (التوبة: 104)

Artinya : "Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. At-Taubah : 104)

Demikian pula di dalam hadist qudsi di terangkan :

اللهم اغفر لي ذنبي فقال الله تبارك وتعالى اذنب عبدي ذنبا فعلم أن له ربا يغفر الذنب ويأخذ بالذنب ثم: اذنب عبد ذنبا فقال عاد فأذنب فقال أي رب اغفرلي ذنبي فقال الله تبارك وتعالى اذنب عبدي ذنبا فعلم أن له ربا يغفر الذنب ويأخذ بالذنب ثم عاد فأذنب ثم عاد فأذنب فقال أي رب اغفرلي ذنبي فقال الله تبارك واعالى اذنب عبدي ذنبا فعلم أن له ربا يغفر الذنب ويأخذ بالذنب قد غفرت لعبدي فليفعل ما شاء. (الحديث)

Artinya : "Ada seseorang melakukan dosa lalu dia berdo’a : Ya Allah ampunilah dosaku. Lalu Allah berkata : Hambaku telah melakukan dosa lalu dia mengerti bahwa dia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa dan menyiksa sebab melakukan dosa. Kemudian sang hamba kembali melakukan dosa, lalu dia berdo’a : Ya Tuhanku, ampunilah dosaku. Lalu Allah berkata : Hambaku telah melakukan dosa lalu dia mengerti bahwa dia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa dan menyiksa sebab melakukan dosa. Kemudian sang hamba kembali melakukan dosa, lalu dia berdo’a : Ya Tuhanku, ampunilah dosaku. Lalu Allah berkata : Hambaku telah melakukan dosa lalu dia mengerti bahwa dia memilik Tuhan yang mengampuni dosa dan menyiksa sebab melakukan dosa. Sungguh aku telah mengampui hambaku, maka hendaknya dia berbuat apa yang dia mau."

Semua penjelasan diatas juga bisa difaham balik (Mafhum Mukholafah) bahwa orang yang bertambah harapannya terhadap rahmat Allah SWT ketika melakukan amal shalih, maka dia termasuk orang yang mengandalkan amalnya.

Hal tersebut bisa divisualisasikan dengan keadaan seseorang yang sudah tua yang selalu melakukan ibadah dan memperbanyaknya sampai-sampai dia merasa bahwa dengan ibadah yang banyak dia akan memperoleh pahala yang banyak dan pasti termasuk penghuni surga.

Adapun cara menjauhinya adalah dengan mengetahui bahwa hak-hak Allah SWT yang wajib dilakukan hambanya tidak bisa dipenuhi dengan banyak atau sedikitnya taat. Seandainya hak tersebut bisa dipenuhi dengan taat, maka orang yang paling utama melakukan hal tersebut adalah para Nabi dan Rasul. Tetapi tidak ada satu pun Nabi dan Rasul yang menghubungkan harapan rahmat Allah dan ampunan-Nya dengan taat dan ibadah mereka, namun mereka selalu mengharapkan ampunan Allah SWT.

Contohnya adalah Nabi Ibrahim, beliau merasa di bawah derajat orang-orang yang shalih dan selalu meminta kepada Allah agar dipertemukan dengan orang-orang yang shalih.

Di dalam Al-Qur’an di jelaskan :

رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ (الشعراء: 83)

Artinya : "(Ibrahim berdo’a), Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang shalih." (QS. Syu’ara’ : 83).

Dan beliau selalu mengharapkan ampunan dari Allah SWT seperti yang diterangkan di dalam surat Ibrahim : 41.

رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ (إبراهيم: 41)

Artinya :"Ya Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada terjadinya hisab (Hari Kiamat)." (QS. Ibrahim:41).

Demikian pula Nabi Yusuf, beliau merasa jauh untuk sampai pada derajat shalihin dan beliau selalu meminta Allah agar dipertemukan dengan orang-orang shalih.

رَبِّ قَدْ آَتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ (يوسف: 101)
Artinya : "Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugrahkan kepadaku sebagian kerajaan dan telah mengerjakan kepadaku sebagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhanku) pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan kumpulkanlah aku dengan orang-orang shalih."(QS. Yusuf:101)

Begitu pula baginda Nabi Muhammad SAW, seperti yang dijelaskan di dalam hadist.

...ولا اتا الا ان يتغامدني الله برحمته

Jadi amal ibadah yang dilakukan manusia hanyalah bayaran yang sangat kecil akan kewajiban mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang tidak terhitung. Maka bagaimana mungkin hal itu bisa dijadikan imbalan (ganti) untuk masuk surga?.

Seseorang setelah mengetahui dan mengerti bahwa dia adalah hamba yang di miliki Allah, maka dia wajib untuk menyembah Allah, baik akan diberi pahala atas ibadahnya atau pun tidak. Kemudian dia harus meminta surga kepada Allah dengan rahmat-Nya dan ihsan-Nya, serta meminta perlindungan dari api neraka dengan kelembutan dan ampunan-Nya.

Seandainya seseorang mengaku bahwa dia menyembah Allah karena mengharapkan surga-Nya, sekiranya jika dia tahu bahwa dia tidak akan memperoleh surga dengan amalnya, lalu dia berhenti beribadah dan tidak mempedulikan hukum (syari’at Allah), maka dia bukanlah orang yang mukmin. Karena dia telah memperlihatkan bahwa dia bukan hamba Allah, melainkan hamba surga.

Dari sini kita mengetahui betapa tingginya ajaran tauhid dalam munajat Rabi’ah Al-Adawiyyah ketika berdo’a. Beliau berdo’a : ”Ya Allah sesungguhnya aku tidak menyembah-Mu ketika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga-Mu dan takut dari neraka-Mu. Tetapi aku mengetahui bahwa Engkau adalah Tuhan yang berhak untuk disembah sehingga aku menyembah-Mu".

Sebagian orang yang dangkal pemikirannya menyangka bahwa Rabi’ah tidak membutuhkan surga yang telah dijanjikan Allah kepada hamba-Nya yang shalih, sehingga mereka mencela Rabi’ah. Persangkaan ini sangatlah keliru, karena di dalam munajat-munajat yang lain, Rabi’ah meminta surga dan dijauhkan dari neraka. Hanya saja Rabi’ah tidak meminta hal tersebut sebagai upah atas shalat dan ibadah-ibadahnya, melainkan beliau meminta hal tersebut karena Allah adalah Dzat Yang Maha Kaya dan Maha Mulia. Sedangakan Rabi’ah adalah orang yang fakir dan mengharap kemurahan Allah SWT.

Ini semua adalah salah satu kunci hidup yang harus dipegang oleh setiap orang islam yakni tidak mengandalkan amal ibadahnya, tetapi yakin atas rahmat dan ampunan dari Allah SWT. Wallahu A'lam bis-Showab


Sekian dulu sobat sedikit berbagi tentang Al-Anwar - Hikmah, Jangan Mengandalkan Amal Ibadah ini, semoga bermanfaat untuk kita semua.

Sumber :
ppalanwar.com
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar